Di masa lalu, ketika seseorang mendapatkan sebuah iklan yang menarik, entah itu iklan cilik di koran ataupun brosur di jalan, ia akan mencari tahu kebenaran iklan tersebut. Entah bertanya kepada keluarga, atau teman. Jika informasinya mendukung, ia baru akan putuskan membeli produk tersebut. Memang, iklan itu ternyata hanya stimulus. Orang jarang yang langsung memutuskan membeli produk hanya berdasarkan iklan saja.
Di era sekarang, kondisi agak sedikit berbeda. Ketika seseorang mendapatkan iklan, ia tidak perlu repot-repot bertanya langsung kepada teman untuk minta pertimbangan. Teman juga belum tentu tahu kan? Ia dengan mudah akan bertanya kepada Google. Ya, itu cara yang paling mudah.
Misalnya saja ya. Seorang pemuda bernama Palgunadi mendapatkan sebuah brosur iklan “Bubur Ayam Mbak Arimbi dijamin Enak”. Apakah ia akan langsung percaya saja dan beli? Belum tentu. Ia akan cari-cari dulu informasi tentang “Warung Bubur Ayam Mbak Arimbi” di Google. Dimana alamatnya, bagaimana fisik warungnya, bagaimana rasanya, bagaimana komentar mereka yang sudah pernah jajan di sana, berapa harganya, dlsb ia cari-cari. Jika misalnya saja, ia mendapatkan review konsumen di media sosial “Jajan di sini mengecewakan. Masak bubur ayam segini saja harganya Rp100ribu! Benar-benar nuthuk pembeli ini namanya…”. Kira-kira, apakah Palgunadi akan jadi membeli bubur di Warung Bubur Ayam Mbak Arimbi? Tergantung. Jika ia mendapatkan informasi lain yang lebih banyak yang menyebutkan bahwa harga buburnya ternyata tidak segitu, mungkin ia tidak akan percaya komentar negatif tersebut. Tapi jika berapa harga bubur tersebut yang benar tidak ia temukan, mencari website “Warung Bubur Ayam Mbak Arimbi” juga tidak ada, sangat mungkin ia akan percaya. Ia batalkan niatnya jajan di warung “Bubur Ayam Mbak Arimbi”.
Akhirnya ia coba cari-cari di Google warung bubur ayam yang enak. Di hasil pencarian, ia menemukan website “Warung Bubur Ayam Mbak Anggraini”. Di websitenya, ia temukan foto dan daftar menunya. Nampaknya enak-enak. Di sana juga ada daftar harga di sana. Semangkuk bubur, harganya hanya Rp10ribu. “Ramah kantong”, batinnya. Namun Palgunadi tidak langsung memutuskan beli. Ia ingin tahu juga bagaimana komentar para pembeli di warung tersebut. Mata Palgunadi tertuju pada link media sosial “Warung Bubur Ayam Mbak Anggraini”. Di sana ada link media sosial : Instagram, FB Fanspage, juga Google Maps. Ia baca-baca postingan di media sosial dan komentar-komentarnya.
Ia menemukan komentar :
Setyowati : “ Alhamdulillah puas jajan di sini. Buburnya enak.”
Arjuna : “Alhamdlullah wareg, buburnya mantap.”
Arimbi : “Anakku seneng banget makan di sini.”
Dan masih banyak lagi komentar positif.
Akhirnya, Palgunadi memutuskan akan jajan bareng istrinya di Warung Bubur Ayam Mbak Anggraini.
Pertanyaan besarnya?
- Apakah benar harga di Warung Bubur Ayam Mbak Arimbi lebih mahal daripada harga di Warung Bubur Ayam Mbak Anggraini? Belum tentu.
- Apakah benar rasa bubur di Warung Bubur Ayam Mbak Arimbi kalah enak dengan rasa bubur di Warung Bubur Ayam Mbak Anggraini? Belum tentu.
Tapi, mengapa Palgunadi memilih mantap jajan di Warung Bubur Ayam Mbak Anggraini? Bukan di Warung Bubur Ayam Mbak Arimbi?
Sebabnya adalah, pemilik bisnis Warung Bubur Ayam Mbak Anggraini berhasil memenangkan hati pelanggan. Ibarat pertempuran, ia menang sebelum bertanding. Beda dengan pemilik bisnis Warung Bubur Ayam Mbak Arimbi. Bisa saja harga di sana lebih murah, rasanya juga lebih enak. Tapi karena ia gagal mengkomunikasikan, ya akhirnya berakhir zonk.
Oleh karena itu, memenangkan hati pembeli sangat penting, bahkan sebelum si pembeli tersebut datang ke tempat penjualnya, sebelum si pembeli itu melihat produknya. Bagaimana caranya?
Ditulis oleh : *Farid Ma’ruf (Web Developer; owner www.satulangit.co.id)*